Sabtu, 13 Maret 2010

Bakteri E Coli Jadi Sumber Energi Masa Depan

Escherichia Coli telah dikenal sebagai mikroba yang berkaitan dengan keterbuangan atau keracunan makanan. Tapi menurut Prof Thimas Wood, Departemen Teknik Kimia Universits Texas memiliki opini yang mengejutkan untuk bakteri ini. Menurutnya E.Coli dapat dimodifikasi secara genetik untuk menghasilkan hidrogen dengan jumlah yang berarti, bahkan dapat memproduksi sekitar 140 kali hidrogen yang diproduksi oleh proses alam. Penemuan ini dapat dipandang sebagai batu loncatan untuk ekonomi berbasis hidrogen di masa depan. Terbarukan, bersih dan efisien adalah kata kunci dari teknologi fuel cell. Kini hidrogen umumnya diproduksi melalui proses "pemecahan air". Proses ini membutuhkan penggunaan energi yang besar dan mahal. E. Coli sendiri telah digunakan sebelumnya dalam produksi hormon insulin dan pembuatan vaksin. Prof Wood dan timnya telah mentransformasi bakteri-bakteri ini menjadi pabrik hidrogen mini, dengan menghapus enam gen spesifik dari DNA E. Coli. Pabrik ini membutuhkan pasokan energi dari gula. Kecepatan mengkonversi gula yang alamiah dari E Coli ditingkatkan berkali-kali lipat. E. Coli memiliki 5000 gen yang dapat bertahan bahkan dalam kingkungan yang kurangmendukung. Hidrogen dapat diproduksi melalui proses fermentasi, tapi menurut Prof Wood ini tidak membutuhkan mesin yang kompleks untuk pemanasan yang ekstensif atau listrik yang banyak. Reaktor yang beliau desain beratnya kurang dari 250 galon bahan bakar yang dapat mensuplai hidrogen untuk rumah untuk penggunaan 24 jam.

Dengan adanya sains, bakteri yang asalnya berbahaya dapat dimanfaatkan untuk sesuatu yang berguna. Maka hal yang demikian sangat diperlukan dan patut dicontoh karena dalam krisis global harus ada alternatif lain sebagai antisipasi krisis yang serba terbatas.

Sumber:

http://id.shvoong.com/exact-sciences/biology/1809847-bakteri-coli-sumber-energi-masa-depan/

Diakses pada 09/03/2010.






Bakteri Indikator Sanitasi dan Keamanan Air Minum

Berita mengenai keamanan air minum isi ulang banyak mewarnai media masa, misal ditemukannya bakteri Escherichia coli, Coliform dan bahkan Salmonella dalam air minum isi ulang yang diambil dari beberapa depo. Nama-nama bakteri tersebut tentunya cukup membingungkan masyarakat awam, khususnya tentang signifikansi dan konsekuensi keberadaan bakteri-bakteri tersebut dalam air.

Tulisan ini akan membahas tentang mengapa bakteri-bakteri tersebut diuji sebagai indikator air minum dan apa arti keberadaan bakteri-bakteri tersebut di dalam air minum maupun makanan.
Bakteri Indikator Sanitasi, Escherichia coli dan Coliform

Dalam bidang mikrobiologi pangan, dikenal istilah bakteri indikator sanitasi. Dalam hal ini pengertian pangan adalah pangan seperti yang tercantum pada Undang-Undang Pangan No. 7 tahun 1996 yang mencakup makanan dan minuman (termasuk air minum). Bakteri indikator sanitasi adalah bakteri yang keberadaannya dalam pangan menunjukkan bahwa air atau makanan tersebut pernah tercemar oleh kotoran manusia. Mengapa demikian? Karena bakteri-bakteri indikator sanitasi tersebut pada umumnya adalah bakteri yang lazim terdapat dan hidup pada usus manusia. Jadi adanya bakteri tersebut pada air atau makanan menunjukkan bahwa dalam satu atau lebih tahap pengolahan air atau makanan tersebut pernah mengalami kontak dengan kotoran yang berasal dari usus manusia dan oleh karenanya mungkin mengandung bakteri patogen lainnya yang berbahaya.

Apa sajakah bakteri indikator sanitasi? Sampai saat ini ada 3 jenis bakteri yang dapat digunakan untuk menunjukkan adanya masalah sanitasi yaitu Escherichia coli , kelompok Streptococcus ( Enterococcus ) fekal dan Clostridium perfringens . Clostridium perfringens adalah bakteri Gram positif pembentuk spora yang sering ditemukan dalam usus manusia. Meskipun demikian, bakteri ini jarang digunakan sebagai indikator sanitasi karena metode pengujiannya kurang spesifik, kadang-kadang ditemukan di luar usus manusia (tanah, debu, lingkungan dan sebagainya) dan karena bakteri ini termasuk patogen asal pangan ( foodborne pathogens ) penyebab keracunan maka pengujiannya membahayakan.

Kelompok Streptococci fekal merupakan bakteri Gram positif bukan pembentuk spora yang ditemukan dalam usus manusia. Akan tetapi Streptococci fekal relatif tidak banyak diujikan sebagai indikator sanitasi karena beberapa spesiesnya ditemukan di luar usus manusia (S. equinus pada usus kuda, S. bovis pada sapi) dan korelasinya dengan terdapatnya patogen tidak dianggap bagus. Meskipun demikian bakteri ini baik digunakan sebagai indikator sanitasi apabila jarak pengambilan sampel dan laboratorium pengujian cukup jauh karena relatif lebih tahan berada di dalam air ketimbang Escherichia coli .

Bakteri yang paling banyak digunakan sebagai indikator sanitasi adalah E. coli , karena bakteri ini adalah bakteri komensal pada usus manusia, umumnya bukan patogen penyebab penyakit sehingga pengujiannya tidak membahayakan dan relatif tahan hidup di air sehingga dapat dianalisis keberadaannya di dalam air yang notabene bukan merupakan medium yang ideal untuk pertumbuhan bakteri. Keberadaan E. coli dalam air atau makanan juga dianggap memiliki korelasi tinggi dengan ditemukannya patogen pada pangan.

E. coli adalah bakteri Gram negatif berbentuk batang yang tidak membentuk spora yang merupakan flora normal di usus. Meskipun demikian, beberapa jenis E. coli dapat bersifat patogen, yaitu serotipe-serotipe yang masuk dalam golongan E. coli Enteropatogenik, E.coli Enteroinvasif, E. coli Enterotoksigenik dan E.coli Enterohemoragik . Jadi adanya E. coli dalam air minum menunjukkan bahwa air minum tersebut pernah terkontaminasi kotoran manusia dan mungkin dapat mengandung patogen usus. Oleh karenanya standar air minum mensyaratkan E. coli harus absen dalam 100 ml.

Berbagai cara pengujian E. coli telah dikembangkan, tetapi analisis konvensional yang masih banyak dipraktekkan adalah dengan 4 tahap analisis yang memerlukan waktu 5-7 hari. Empat tahap analisis tersebut adalah Uji Pendugaan dengan metode MPN ( most probable number ), Uji penguat pada medium selektif, Uji lengkap dengan medium lactose broth, serta Uji Identifikasi dengan melakukan reaksi IMViC (indol, methyl red, Vogues-Praskauer, dan citrate). Jadi untuk dapat menyimpulkan E. coli berada pada air atau makanan diperlukan seluruh tahapan pengujian di atas. Apabila dikehendaki untuk mengetahui serotipe dari E. coli yang diperoleh untuk memastikan apakah E.coli tersebut patogen atau bukan maka dapat dilakukan uji serologi. Meskipun demikian, beberapa serotipe patogen tertentu seperti O157:H7 yang ganas tidak dapat diuji langsung dengan pengujian 4 tahap ini dan memerlukan pendekatan analisis khusus sejak awal.

Karena uji E. coli yang kompleks, maka beberapa standar, misalnya Standar Nasional Indonesia (SNI), mensyaratkan tidak adanya coliform dalam 100 ml air minum. Apakah yang dimaksud dengan Coliform ? Coliform adalah kelompok bakteri Gram negatif berbentuk batang yang pada umumnya menghasilkan gas jika ditumbuhkan dalam medium laktosa. Salah satu anggota kelompok coliform adalah E. coli dan karena E. coli adalah bakteri coliform yang ada pada kotoran manusia maka E. coli sering disebut sebagai coliform fekal. Pengujian koliform jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan uji E. coli , karena hanya memerlukan Uji penduga yang merupakan tahap pertama uji E coli 4 tahap di atas. Apa artinya jika terdapat coliform dalam air minum atau makanan? Artinya ada kemungkinan air atau makanan itu mengandung E. coli , tetapi mungkin juga tidak mengandung E. coli karena bakteri-bakteri bukan patogen dan bukan asal usus dari genus Enterobacter dan beberapa Klebsiella juga menghasilkan uji koliform positif. Jika ingin diketahui apakah coliform tersebut merupakan coliform fekal atau E. coli maka uji tersebut dapat dilanjutkan dengan uji 4 tahap di atas. Akan tetapi jika uji penduga tidak menunjukkan adanya coliform, maka tidak perlu dilakukan uji 4 tahap di atas. Pada air bukan untuk minum umumnya terdapat perbedaan persyaratan coliform dani E. coli . Air untuk kolam renang misalnya mensyaratkan kandungan coliform <2.4 x 10 3 , tetapi syarat E. coli tentunya lebih ketat yaitu < 1 x 10 3 dalam 100 ml.

Salmonella dalam air minum atau makanan

Salmonella adalah bakteri Gram negatif berbentuk batang bukan pembentuk spora yang terdiri dari sekitar 2500 serotipe yang kesemuanya diketahui bersifat patogen baik pada manusia atau hewan. Bakteri ini bukan indikator sanitasi , melainkan bakteri indikator keamanan pangan . Artinya, karena semua serotipe Salmonella yang diketahui di dunia ini bersifat patogen maka adanya bakteri ini dalam air atau makanan dianggap membahayakan kesehatan. Oleh karena itu berbagai standar air minum maupun makanan siap santap mensyaratkan tidak ada Salmonella dalam 100 ml air minum atau 25 gram sampel makanan.

Pengujian Salmonella juga memerlukan tahapan yang cukup panjang dan hanya dengan pengujian lengkap maka seseorang bisa menyimpulkan keberadaan Salmonella . Uji Salmonella umumnya didahului dengan tahap pre-enrichment pada medium kaya untuk meyembuhkan sel Salmonella yang luka ( injured ) , selective-enrichment (pengkayaan selektif) pada media selektif untuk menghalau bakteri-bakteri non Salmonella , tahap isolasi pada beberapa media selektif dan tahap identifikasi berdasarkan reaksi-reaksi biokimia pada media identifikasi dan konfirmasi serologi atau biokimiawi yang menetapkan apakah bakteri tersebut benar-benar Salmonella atau bukan.

Penutup

Dengan meningkatnya tingkat pendidikan dan kesejahteraan masyarakat serta sitem informasi maka meningkat pula awareness masyarakat tentang mutu dan keamanan pangan termasuk air minum. Salah satu indikator mutu dan keamanan yang lazim digunakan adalah bahaya mikrobiologi yang jenis dan jumlahnya dalam makanan atau minuman dapat menentukan mutu dan keamanannya. Oleh karena itu perlu diperhatikan pengujian jenis bakteri yang relevan dan metode pengujian yang terjamin mutunya sehingga hasil pengujian dapat dipertanggungjawabkan kepada khalayak.

Sumber (dengan editing seperlunya):
http://web.ipb.ac.id/~tpg/de/pubde_fdsf_bctrindktr.php
Oleh: Ratih Dewanti-Hariyadi, PhD

Sumber artikel:

http://www.eurekaindonesia.org/bakteri-indikator-sanitasi-dan-keamanan-air-minum/

Diakses pada 09/03/2010.





Rata Penuh

W A L I K O T A B A N J A R M A S I N
PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN
NOMOR 2 TAHUN 2007
TENTANG
PENGELOLAAN SUNGAI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALIKOTA BANJARMASIN,

Menimbang :
a. bahwa sungai sebagai salah satu sumber daya alam yang mempunyai potensi sosial ekonomi dan lingkungan harus dikembangkan secara optimal untuk sebesar-besarnya kesejahteraan, kemakmuran rakyat dan lingkungan hidup;
b. bahwa kondisi sungai di Kota Banjarmasin telah banyak mengalami pendangkalan dan kerusakan;
c. bahwa perilaku masyarakat dan kegiatan dan/atau usaha orang didarat memberikan kontribusi besar bagi proses pendangkalan dan kerusakan sungai di Kota Banjarmasin;
d. bahwa untuk mengembalikan kondisi sungai sesuai dengan fungsinya, maka perlu dikelola;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana huruf a,b,c dan d konsiderans di atas, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang pengelolaan sungai;

Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959 tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1953 Nomor 9) Sebagai Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1820);
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419 );
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839);
6. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3501);
7. Undang - Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699 ); 8. Undang - Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377); 9. Undang - Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389); 10. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437); 11. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3225 ); 12. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258); 13. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3445); 14. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3660); 15. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3910 ); 16. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4161); 17. Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Banjarmasin Nomor 2 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Kebersihan (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 1992 Nomor 4 Seri B Nomor seri 2) sebagaimana telah diubah dalam Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 4 Tahun 2000 ( Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2000 Nomor 7); 18. Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Banjarmasin Nomor 16 Tahun 1992 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Daerah Tahun 1993 Nomor 3 Seri D Nomor 2); 19. Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1996 tentang Kebersihan, Ketertiban, Kesehatan, dan Kelestarian Lingkungan (Lembaran Daerah Tahun 1996 Nomor 9 Nomor Seri 5 ); 20. Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 1996 tentang Pemberian Izin dan Retribusi Undang-Undang Gangguan ( Lembaran Daerah Tahun 1996 Nomor 4 Seri B Nomor Seri 7) ;
21. Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 7 Tahun 2000 tentang Kewenangan Daerah Kota Banjarmasin (Lembaran Daerah Tahun 2000 Nomor 2); 22. Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2000 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Dinas, Badan, Kecamatan dan Kelurahan Kota Banjarmasin ( Lembaran Daerah Tahun 2000 Nomor 9 ) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 1 Tahun 2002 (Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2002 Nomor 1); 23. Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 8 Tahun 2001 tentang Penataan Daerah Kota Banjarmasin ( Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2001 Nomor 2 ); 24. Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2001 tentang Izin Mendirikan Bangunan(Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2001 Nomor 28); 25. Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2003 tentang Rencana Umum Tata Ruang Kota Banjarmasin ( Lembaran Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2003 Nomor 18);

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA BANJARMASIN dan WALIKOTA BANJARMASIN MEMUTUSKAN

Menetapkan : PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI.

BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Kota Banjarmasin;
2. Pemerintah Kota adalah Pemerintah Kota Banjarmasin;
3. Walikota adalah Walikota Banjarmasin;
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Banjarmasin adalah Lembaga Legislatif Kota Banjarmasin;
5. Pengelolaan adalah upaya terpadu untuk kelestarian, fungsi sungai yang meliputi kebijaksanaan perlindungan, pemanfaatan, pemeliharaan, dan pengendalian kualitas air sungai;
6. Sungai adalah tempat-tempat dan wadah-wadah serta jaringan pengaliran air mulai dari hulu dan hilir sampai muara dengan dibatasi kanan kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan;
7. Fungsi sungai adalah sebagai penyediaan air, prasarana transportasi, penyedia tenaga, prasarana pengaliran (drainase) dan pariwisata dan aktivitas sosial budaya;
8. Manfaat sungai adalah untuk kesejahteraan, keselamatan umum dan memberikan nilai ekonomi, kelangsungan ekosistem dan lingkungan hidup secara langsung maupun tidak langsung;
9. Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah tata pengairan/rezim anak sungai sebagai hasil pengembangan satu atau lebih daerah pengaliran sungai;
10. Bantaran sungai adalah lahan pada dua sisi dalam sepanjang sungai dihitung dari air pasang rata-rata sampai air surut dan merupakan jalur hijau atau fasilitas umum yang ditentukan lebih lanjut melalui Peraturan Walikota;
11. Garis Sempadan adalah garis batas luar sampai pada tepi air yang tertinggi ditentukan dan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Walikota berdasarkan pertimbangan teknis tertentu;
12. Sungai yang dilestarikan adalah wilayah sungai yang merupakan kewenangan Pemerintah Kota yang berada dan mengalir dalam wilayah Kota Banjarmasin;
13. Limbah/sampah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan.

BAB II PERLINDUNGAN SUNGAI
Pasal 2
(1) Pemerintah Kota bersama-sama dengan institusi lain yang terkait, masing-masing sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya, menyelenggarakan upaya pengamanan sungai dan daerah sekitarnya meliputi :
a. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS);
b. Pengendalian daya rusak air;
c. Pengendalian pengaliran sungai;
d. Perlindungan tebing sungai karena erosi.
(2) Dalam rangka melindungi fungsi-fungsi sungai dilarang merubah aliran sungai.
(3) Kegiatan yang dapat merusak fungsi sungai dilarang seperti membangun bangunan di bantaran dan sempadan sungai kecuali untuk memberikan perlindungan terhadap sungai dan manfaat lainnya yang sifatnya tidak merusak sungai.
(4) Dilarang membuang benda-benda dan/atau bahan-bahan padat dan/ atau cair dan / atau sampah dan /atau yang berupa limbah ke dalam maupun di sekitar sungai yang diperkirakan atau patut diduga akan menimbulkan pencemaran atau menurunkan kualitas air, sehingga membahayakan dan atau merugikan pengguna air dan lingkungan.
(5) Mengambil sesuatu dari sungai dengan menggunakan alat peledak, dan atau bahan kimia dan atau bahan lainnya yang dapat merusak kehidupan biota di sungai.
(6) Mempergunakan sarana transportasi yang melebihi bobot dan kecepatan alat trasnportasi yang telah ditentukan oleh rambu-rambu di sungai.

BAB III PEMANFAATAN SUNGAI
Pasal 3
(1) Pemanfaatan lahan pada daerah manfaat sungai dilakukan oleh Walikota sesuai dengan ketentuan tata ruang Kota Banjarmasin.
(2) Pemanfaatan lahan pada daerah manfaat sungai, bekas sungai dan daerah penguasaan sungai dilakukan berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih lanjut melalui Peraturan Walikota dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Banjarmasin.
(3) Pemanfaatan lahan pada bekas sungai diatur lebih lanjut oleh Walikota dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Banjarmasin.

Pasal 4
(1) Setiap usaha dan atau kegiatan yang memanfaatkan air sungai harus mendapatkan izin dari Walikota.
(2) Persyaratan dan tata cara memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Walikota.

BAB IV PEMELIHARAAN SUNGAI
Pasal 5
Pemeliharaan sungai sesuai dengan fungsinya dilakukan melalui :
(1) Penetapan wilayah sungai dalam rencana tata ruang kawasan pemanfaatan sungai.
(2) Konservasi ditujukan untuk menjaga kelangsungan fungsi sungai, yang dilakukan melalui kegiatan perlindungan dan pelestarian air sungai dan pengawetan air yang merupakan acuan dalam perencanaan tata ruang.
(3) Penetapan kelas-kelas air sungai.

Pasal 6
(1) Kelas-kelas air sungai ditetapkan berdasarkan mutu air menjadi 4 (empat) kelas :
a. Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum,dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;
b. Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;
c. Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;
d. Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
(2) Kriteria mutu air untuk menetapkan kelas air sungai sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Daerah tersendiri.
(3) Penetapan kelas-kelas air sungai sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Daerah tersendiri.

BAB V PENGENDALIAN KUALITAS AIR SUNGAI Bagian Pertama Pemantauan
Pasal 7
(1) Walikota melakukan pemantauan kualitas air sungai.
(2) Pemantauan kualitas air sungai sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali.
(3) Pemantauan untuk menentukan status mutu air, yaitu kondisi tercemar atau kondisi baik sesuai baku mutu air.
(4) Dalam hal status mutu air tercemar, maka Walikota wajib melakukan penanggulangan dan pemulihan kualitas air.

Bagian Kedua Pembuangan Limbah
Pasal 8
(1) Limbah yang dibuang ke sungai harus bersih, aman dan sehat bagi kehidupan biota sungai.
(2) Setiap usaha dan atau kegiatan yang melakukan pembuangan limbah ke sungai harus mendapat izin dari Walikota.
(3) Persyaratan dan tata cara memperoleh izin sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Walikota.

Bagian Ketiga Pembinaan
Pasal 9
(1) Walikota melakukan pembinaan untuk meningkatkan ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan dalam pengelolaan kualitas air.
(2) Walikota melakukan pembinaan pengelolaan limbah rumah tangga.
(3) Upaya pembinaan sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan dengan membangun prasarana dan sarana pengelolaan limbah rumah tangga.\
(4) Pembangunan sarana dan prasarana dapat dilakukan dengan bekerjasama pihak ketiga sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB VI KELEMBAGAAN PENGELOLA
Pasal 10
(1) Pengelolaan sungai dilaksanakan secara terpadu oleh perangkat kelembagaan yang dikoordinasi oleh Walikota.
(2) Ketentuan mengenai tugas, fungsi, wewenang dan susunan organisasi serta tata kerja kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota.

BAB VII HAK, KEWAJIBAN DAN PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 11
(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama atas kondisi sungai yang baik dan sehat.
(2) Setiap orang mempunyai hak atas informasi yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan sungai.
(3) Masyarakat dapat berperan aktif dalam perencanaan, pemanfaatan, perlindungan, dan pengawasan sungai.
(4) Masyarakat wajib ikut serta menjaga kelesatarian fungsi dan manfaat sungai.
(5) Masyarakat dapat membentuk kelompok yang berperan dalam pemanfaatan, perlindungan dan pengawasan sungai

BAB VIII PEMBIAYAAN
Pasal 12
(1) Pembiayaan pengelolaan sungai yang ditujukan untuk kesejahteraan dan keselamatan umum di tanggung oleh pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik Negara/badan usaha milik daerah pengelola sumber daya air, koperasi, badan usaha lain dan perseroaan, baik secara sendiri-sendiri maupun dalam bentuk kerja sama.
(2) Pembiayaan pembangunan bangunan sungai untuk usaha-usaha tertentu yang diselenggarakan oleh badan hukum, badan sosial atau perorangan ditanggung oleh yang bersangkutan.
(3) Masyarakat yang secara langsung memperoleh manfaat dari pengelolaan sungai sebagaimana dimaksud ayat (1), dapat diikut sertakan dalam pembiayaan untuk pembangunan bangunan tersebut sesuai dengan kepentingan dan kemampuannya.
(4) Masyarakat yang secara langsung memperoleh manfaat dari adanya bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapt diikutsertakan dalam pemeliharaan tersebut sesuai dengan kepentingan dan kemampuannya.

BAB IX PENGAWASAN
Pasal 13
(1) Pengawasan atas penyelenggaraan pengelolaan sungai dilakukan oleh pejabat yang berwenang beserta masyarakat.
(2) Pejabat yang berwenang, tata cara dan pengawasan atas penyelenggaran pengelolaan sungai diatur lebih lanjut melalui Peraturan Walikota.

BAB X KEWAJIBAN
Pasal 14
Dalam rangka pengelolaan sungai Pemerintah Kota berkewajiban :
a. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab pengambilan keputusan dalam pengelolaan sungai;
b. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kesadaran akan hak dan tanggung jawab masyarakat dalam pengelolaan sungai;
c. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kemitraan antara masyarakat, dunia usaha dan Pemerintah dalam upaya pelestarian manfaat dan fungsi sungai bagi kesejahtraan dan kepentingan umum;
d. Melakukan pengawasan atas izin yang diberikan;
e. Memberikan rekomendasi apakah dapat diberikan hak-hak atas tanah yang termasuk dalam bantaran atau sempedan sungai;
f. Memelihara, membina dan menyediakan fasilitas, serta rambu-rambu di sungai;
g. Menetapkan suatu kawasan konservasi sungai.

BAB XI SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 15
(1) Bagi pemilik usaha dan atau kegiatan yang melanggar Pasal 4 dan Pasal 8 Perda ini dikenakan Sanksi Administratif meliputi :
a. Pencabutan perizinan;
b. Meletakkan perusahaan dalam pengawasan Pemerintah Kota;
c. Penutupan tempat usaha;
d. Pembongkaran.
(2) Tata cara dan jenis penjatuhan sanksi administratif sebagaimana dimaksud ayat (1) di atas diatur lebih lanjut dalam Peraturan Walikota.

BAB XII KETENTUAN PIDANA
Pasal 16
(1) Dihukum dengan Pidana Kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda paling –tinggi Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) terhadap perbuatan-perbuatan berikut :
(a) Barang siapa secara melawan hukum mendirikan bangunan di atas sempadan dan atau garis sungai;
(b) Barang siapa secara melawan hukum dengan sengaja merusak tebing atau pinggiran atau bantaran sungai;
(c) Barang siapa secara melawan hukum dengan sengaja meletakan atau menempatkan suatu benda ke sungai, pinggir sungai, sempadan atau garis sungai, yang berakibat rusaknya pinggir, sempadan atau garis sungai;
(d) Barang siapa secara melawan hukum membuang sampah dan atau limbah organik dan non organik ke sungai, atau pinggir sungai, atau garis sungai;
(e) Barangsiapa menggunakan bahan dan alat berbahaya untuk mengambil manfaat dari permukaan dan dalam sungai;
(f) Barangsiapa melanggar rambu-rambu yang ada diperuntukan mengatur penggunaan dan pemanfaatan sungai;
(g) Barangsiapa secara melawan hukum merubah atau menambah suatu bangunan yang sudah ada di bantaran atau sempadan sungai sebelum perda ini di berlakukan.
(2) Pemberlakuan ketentuan pidana sebagaimana yang termuat dalam ayat (1) dapat digabungkan penerapannya dengan ketentuan yang berlaku dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup serta Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta peraturan perundang-undangan lainnya.
(3) Ketentuan pidana yang termuat dan yang dimaksud pada ayat (1) adalah tindak pidana pelanggaran.

BAB XIII KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 17
(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintahan Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku. (2) Wewenang Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini adalah: a. Menerima, mencari mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana pelangggaran agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas; b. Meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana tersebut; c. Menerima keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang pelanggaran tersebut; d. Menerima bukti-bukti, catatan-catatan dan dokumen-dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana tersebut; e. Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan dan dokumen-dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut; f. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang Pelanggaran; g. Menyuruh berhenti, melarang seseorang meninggalkan ruang atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan atau dokumen yang dibawa sebagaimana pada huruf e; h. Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana tersebut; i. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; j. Menghentikan penyidikan; k. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana menurut hukum yang dapat dipertanggung jawabkan. (3) Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.

BAB XIV KETENTUAN PENUTUP
Pasal 18
Peraturan Daerah ini mulai berlaku 1 (satu) tahun sejak tanggal ditetapkannya

Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Banjarmasin.

Ditetapkan di Banjarmasin
pada tanggal 16 Januari 2007

WALIKOTA BANJARMASIN,

TTD.

H. A. YUDHI WAHYUNI

Diundangkan di Banjarmasin
pada tanggal 25 Januari 2007

SEKRETARIS DAERAH WALIKOTA BANJARMASIN,

TTD.
H. DIDIT WAHYUNIE

LEMBARAN DAERAH KOTA BANJARMASIN TAHUN 2007 NOMOR 2

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG
PENGELOLAAN SUNGAI

I. PENJELASAN UMUM
Sungai adalah life support system bagi manusia sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, karena itu perlu dilestarikan. Pelestarian yang dikehendaki adalah pelestarian fungsi sungai, yang meliputi :
a. sebagai penyediaan air;
b. prasarana transportasi;
c. penyedia tenaga;
d. prasarana pengaliran (drainase), dan;
e. pariwisata dan aktivitas sosial budaya
Dalam rangka memelihara fungsi sungai tersebut, maka diperlukan instrumen lingkungan yang mampu menjaga pelestarian fungsi sungai berupa :
a. pengintegrasian ke dalam rencana tata ruang manfaat sungai;
b. konservasi yang dimasukan rencana tata ruang, dan;
c. penetapan kelas-kelas sungai.
Selain aspek lingkungan juga dikembangkan segi sosial budaya yang terkait dengan pengelolaan sungai, agar ketentuan peraturan daerah ini dapat diterima oleh masyarakat yang sesuai dengan budaya yang berkembang.

II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 : Cukup jelas
Pasal 2 ayat (2) : merubah aliran sungai adalah merubah aliran sungai yang tercipta secara alami dalam rangka hanya untuk kepentingan ekonomis pribadi masyarakat Pasal 2 ayat (3) : bangunan yang tidak merusak seperti water front city
Pasal 3 s/d Pasal 17 : Cukup jelas


Sumber:

http://banjarmasin.bpk.go.id/web/peraturan/banjarmasin/lain-lain/perda_bjm_2007_2_pengelolaan_sungai.html.

Diakses pada 9 Maret 2009.

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP

NOMOR 31 TAHUN 2009

TENTANG
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN LINGKUNGAN, EKOLABEL, PRODUKSI BERSIH, DAN TEKNOLOGI BERWAWASAN LINGKUNGAN DI DAERAH

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang: a. bahwa penerapan sistem manajemen lingkungan, ekolabel, produksi bersih, dan teknologi berwawasan lingkungan perlu ditingkatkan sebaran penerapan, efektivitas kinerja dan pemanfaatannya oleh pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota sebagai upaya mewujudkan pembangunan berkelanjutan dengan pendekatan pola produksi dan konsumsi berkelanjutan;

b. bahwa Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam menyelenggarakan kewenangan pada sub-sub bidang sistem manajemen lingkungan, ekolabel, produksi bersih, dan teknologi berwawasan lingkungan berdasarkan ketentuan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengelolaan lingkungan hidup;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pembinaan dan Pengawasan Penerapan Sistem Manajemen Lingkungan, Ekolabel, Produksi Bersih, dan Teknologi Berwawasan Lingkungan di Daerah;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699);

2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4219);

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

5. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2006;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Tentang PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Penerapan Sistem Manajemen Lingkungan, Ekolabel, Produksi Bersih, dan Teknologi Berwawasan Lingkungan di Daerah.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksudkan dengan:

1. Pola produksi dan konsumsi berkelanjutan adalah pembuatan dan penggunaan produk dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan taraf hidup, dengan mengurangi penggunaan sumber daya alam, bahan beracun dan timbulan limbah serta pencemar sepanjang daur hidup produk dan jasa.

2. Sistem manajemen lingkungan adalah bagian sistem manajemen organisasi yang digunakan untuk mengembangkan dan menerapkan kebijakan lingkungan dan mengelola aspek lingkungannya.

3. Ekolabel adalah label lingkungan yang berupa pernyataan atau tanda yang menunjukkan keunggulan suatu produk dalam memberikan manfaat terhadap perlindungan lingkungan.

4. Produksi bersih adalah strategi pengelolaan yang bersifat preventif, terpadu, dan diterapkan secara terus-menerus pada setiap kegiatan mulai dari hulu ke hilir yang terkait dengan proses produksi, produk dan jasa untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya alam, mencegah terjadinya pencemaran lingkungan dan mengurangi terbentuknya limbah pada sumbernya sehingga meminimisasi resiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia serta kerusakan lingkungan.

5. Teknologi berwawasan lingkungan adalah teknologi yang diterapkan pada suatu kegiatan terkait dengan proses, produk dan jasa sehingga dapat mengurangi dan mencegah terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup.

6. Pihak penerap adalah para pihak yang melaksanakan sistem manajemen lingkungan, ekolabel, produksi bersih dan teknologi berwawasan lingkungan, yang dapat mencakup pengelola usaha /kegiatan baik di kalangan lembaga pemerintah daerah, industri, lembaga pendidikan, dan lembaga kemasyarakatan.

7. Pemangku kepentingan adalah para pihak perorangan atau organisasi yang memberikan perhatian terhadap atau kegiatannya terkait dengan penerapan sistem manajemen lingkungan, ekolabel, produksi bersih dan teknologi berwawasan lingkungan oleh pihak penerap.

8. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengelolaan lingkungan hidup.

Pasal 2

Ruang lingkup yang diatur dalam peraturan Menteri ini meliputi:

a. penerapan sistem manajemen lingkungan, ekolabel, produksi bersih, dan teknologi berwawasan lingkungan;

b. pembinaan penerapan sistem manajemen lingkungan, ekolabel, produksi bersih, dan teknologi berwawasan lingkungan;

c. pengawasan penerapan sistem manajemen lingkungan, ekolabel, produksi bersih, dan teknologi berwawasan lingkungan;

d. evaluasi pembinaan dan pengawasan; dan

e. tindaklanjut evaluasi pembinaan dan pengawasan.

BAB II

PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN LINGKUNGAN, EKOLABEL, PRODUKSI BERSIH, DAN TEKNOLOGI BERWAWASAN LINGKUNGAN

Pasal 3

(1) Menteri menetapkan kebijakan dalam penerapan sistem manajemen lingkungan, ekolabel, produksi bersih, dan teknologi berwawasan lingkungan dengan mempertimbangkan masukan dari pemangku kepentingan secara nasional.

(2) Pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota melaksanakan pembinaan dan pengawasan dalam penerapan sistem manajemen lingkungan, ekolabel, produksi bersih, dan teknologi berwawasan lingkungan di daerah sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

BAB III

PEMBINAAN PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN LINGKUNGAN, EKOLABEL, PRODUKSI BERSIH, DAN TEKNOLOGI BERWAWASAN LINGKUNGAN

Pasal 4

Menteri melaksanakan pembinaan kepada pemerintah daerah provinsi terhadap penerapan sistem manajemen lingkungan, ekolabel, produksi bersih, dan teknologi berwawasan lingkungan melalui:

a. penyediaan sumber informasi yang mutakhir mengenai sistem manajemen lingkungan, ekolabel, produksi bersih, dan teknologi berwawasan lingkungan serta pedoman penerapannya;

b. pemberian panduan teknis tatacara pengawasan dan evaluasinya; dan/atau

c. bimbingan teknis kepada pemerintah daerah provinsi.

Pasal 5

Gubernur melaksanakan pembinaan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota terhadap penerapan sistem manajemen lingkungan, ekolabel, produksi bersih, dan teknologi berwawasan lingkungan melalui:

a. penyediaan layanan informasi yang mutakhir mengenai sistem manajemen lingkungan, ekolabel, produksi bersih, dan teknologi berwawasan lingkungan serta pedoman penerapannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a; dan

b. bimbingan teknis kepada pemerintah daerah kabupaten/kota.

Pasal 6

(1) Gubernur dan/atau bupati/walikota melaksanakan pembinaan kepada pihak penerap melalui:

  1. sosialisasi; dan
  2. layanan informasi.

(2) Sosialisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.

Pasal 7

(1) Sosialisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dilaksanakan berdasarkan hasil inventarisasi calon pihak penerap sistem manajemen lingkungan, ekolabel, produksi bersih, dan teknologi berwawasan lingkungan.

(2) Hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar dalam penyiapan materi sosialisasi.

(3) Materi sosialisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:

a. paket informasi baku yang disediakan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, dengan mencantumkan sumber bahan; dan

b. materi tambahan tentang program kegiatan pemerintah daerah provinsi dan/atau kabupaten/kota yang terkait.

(4) Sosialisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan cara:

a. langsung melalui seminar atau rapat kerja; atau

b. tidak langsung melalui surat edaran yang dilengkapi dengan materi sosialisasi.

Pasal 8

(1) Sosialisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dapat dilanjutkan dengan pelaksanaan bimbingan teknis sesuai kebutuhan.

(2) Pelaksanaan bimbingan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari program kegiatan pemerintah daerah provinsi dan/atau kabupaten/kota dan/atau berdasarkan permintaan dari pihak penerap.

(3) Bimbingan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh personil yang memenuhi persyaratan:

a. memiliki pengetahuan teknis dan/atau pengalaman kerja tentang substansi materi bimbingan teknis; dan

b. menguasai metodologi pengajaran dan keterampilan menyampaikan materi bimbingan teknis.

(4) Bimbingan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui lokakarya atau pelatihan.

Pasal 9

(1) Layanan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b merupakan bagian dari program kegiatan pemerintah daerah provinsi dan/atau kabupaten/kota dan/atau berdasarkan permintaan dari pihak penerap dan/atau pemangku kepentingan.

(2) Layanan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan melalui:

a. media elektronik; atau

b. media cetak.

(3) Layanan informasi melalui media elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a wajib memenuhi kriteria:

a. memiliki koneksi dengan layanan sumber informasi yang disediakan oleh Menteri dan/atau pemerintah daerah provinsi; dan

  1. kemutakhiran informasi dan koneksi dalam layanan informasi tetap terjaga.

BAB IV

PENGAWASAN PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN LINGKUNGAN, EKOLABEL, PRODUKSI BERSIH, DAN TEKNOLOGI BERWAWASAN LINGKUNGAN

Pasal 10

(1) Gubernur dan/atau bupati/walikota melaksanakan pengawasan terhadap pemenuhan pihak penerap atas pedoman penerapan sistem manajemen lingkungan, ekolabel, produksi bersih, dan teknologi berwawasan lingkungan.

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan kepada pihak penerap melalui:

a. pengawasan langsung;

b. pengawasan secara tidak langsung; dan/atau

c. penanganan pengaduan.

(3) Pengawasan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilaksanakan oleh personil yang memiliki pengetahuan teknis dan/atau pengalaman kerja tentang substansi sistem manajemen lingkungan, ekolabel, produksi bersih dan teknologi berwawasan lingkungan, serta penerapannya, dengan merujuk pada:

a. sumber informasi yang disediakan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a;

b. layanan informasi yang disediakan oleh pemerintah daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a; dan/atau

c. bimbingan teknis oleh pemerintah daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b.

(4) Pengawasan secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilaksanakan melalui:

a. pengumpulan informasi dari pihak penerap; dan/atau

b. masukan dari para pemangku kepentingan.

(5) Penanganan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilaksanakan oleh personil yang memiliki pengetahuan teknis dan/atau pengalaman kerja tentang substansi sistem manajemen lingkungan, ekolabel, produksi bersih, dan teknologi berwawasan lingkungan serta pedoman penerapannya, dengan merujuk pada:

a. sumber informasi yang disediakan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a;

b. layanan informasi yang disediakan oleh pemerintah daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a; dan/atau

c. bimbingan teknis oleh pemerintah daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b.

BAB V

EVALUASI PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 11

(1) Bupati/walikota melaksanakan evaluasi terhadap kegiatan pembinaan dan pengawasan penerapan sistem manajemen lingkungan, ekolabel, produksi bersih, dan teknologi berwawasan lingkungan yang dilaksanakan oleh penerap.

(2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan oleh bupati/walikota untuk menyusun rencana kegiatan pembinaan dan pengawasan kepada pihak penerap.

(3) Bupati/walikota menyampaikan laporan tahunan hasil evaluasi dan rencana kegiatan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada gubernur 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun paling lambat minggu pertama bulan Januari tahun berikutnya.

(4) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan oleh gubernur untuk menyusun rencana kegiatan pembinaan kepada pemerintah kabupaten/kota.

(5) Gubernur menyampaikan laporan tahunan berupa rangkuman hasil evaluasi dan rencana kegiatan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada Menteri 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun paling lambat minggu pertama bulan Februari tahun berikutnya.

BAB VI

TINDAKLANJUT EVALUASI PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 12

(1) Menteri merangkum dan mengkaji hasil rangkuman evaluasi dan rencana kegiatan lanjutan yang disampaikan oleh gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5).

(2) Hasil kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimanfaatkan oleh Menteri untuk:

a. memutakhirkan sistem manajemen lingkungan, ekolabel, produksi bersih, teknologi berwawasan lingkungan dan/atau pedoman penerapannya;

b. memberikan arahan kebijakan kepada gubernur dan/atau bupati/walikota paling lambat awal bulan April tahun berikutnya; dan

c. meningkatkan pembinaan kepada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam pelaksanaan pembinaan dan pengawasan penerapan sistem manajemen lingkungan, ekolabel, produksi bersih, dan teknologi berwawasan lingkungan.

(3) Dalam hal Menteri menilai bahwa pembinaan dan pengawasan yang dilaksanakan oleh gubernur dan/atau bupati/walikota belum mencukupi atau terjadi ketidakselarasan dengan ketentuan yang berlaku secara nasional dan/atau ditetapkan oleh Menteri, Menteri menetapkan tindakan perbaikan yang diperlukan.

BAB VII

PEMBIAYAAN

Pasal 13

(1) Biaya pelaksanaan kegiatan pembinaan dan pengawasan oleh bupati/walikota dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota dan sumber lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Biaya untuk pelaksanaan kegiatan pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh gubernur dibebankan pada APBD provinsi dan sumber lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(3) Biaya untuk pelaksanaan kegiatan pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Menteri dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan sumber lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB VIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 14

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal : 16 September 2009

MENTERI NEGARA

LINGKUNGAN HIDUP,

ttd

Salinan sesuai dengan aslinya RACHMAT WITOELAR

Deputi MENLH

Bidang Penaatan Lingkungan,


Sumber:

http://www.osun.org/ebook/program+menteri+lingkungan+hidup+2009-doc.html

Diakses pada 9 Maret 2010